Tak Orgasme? Cari Sebabnya...

Bicara soal orgasme, berbagai informasi menyebutkan, wanitaperempuan dapat mencapai orgasme lewat berbagai variasi seksual, termasuk berfantasi. Lantas, kenapa perempuan jarang, atau bahkan ada yang tak pernah mengalami orgasme? Benarkah begitu sulitnya perempuan mencapai orgasme?

Untuk itu, pentingnya perempuan mengetahui kondisi tubuhnya sendiri dan bersikap jujur pada pasangan. Artinya, katakan dengan terus terang, kalau rangsangan yang dilakukan pasangan itu benar-benar membuatnya “melayang” di udara. Sehingga pasangan akan melakukan hal serupa saat akan berhubungan. Kecuali, organ kelamin maupun hormon seksual Anda mengalami gangguan, selebihnya kunci mendapatkan orgasme terletak pada komunikasi antar pasangan.

Kejujuran memainkan peranan penting. Jangan pura-pura menikmati, meski sebenarnya tidak. Atau diam saja, meski apa yang dilakukan pasangan itu sangat menyenangkan. Memang, tubuh perempuan punya seribu misteri. Semakin digali, para peneliti makin sepakat bahwa hasrat perempuan bisa “dibangkitkan” dengan berbagai cara. Karena itu, orgasme atau puncak kenikmatan bukan lagi “kabar angin”, tetapi bisa menjadi “agenda” rutin yang dapat dicapai setiap kali berhubungan badan.

Survei menunjukkan, frekuensi orgasme seorang perempuan hampir sama sepanjang hidupnya. Rata-rata perempuan berusia 20-an mengalami 0,3 orgasme/minggu. Begitu juga mereka yanbg berusia 60-an. Meski banyak kemungkinan meraihnya, ternyata banyak perempuan dewasa yang sehat dan normal tidak pernah mengalami orgasme atau tidak mencapai puncaknya selama senggama. Bila Anda salah satunya, betulkah Anda patut khawatir? Jawabnya, tidak perlu.

Menurut para ahli, perempuan bagaimanapun bisa menyegarkan dan memperbaiki kehidupan seksualnya, dimana tidak ada satu pihak yang merasa kecewa. Anda masih punya banyak waktu dan cara melakukan kegiatan seks yang lebih berkualitas. Supaya berhasil, Anda dianjurkan tidak menjadikan orgasme sebagai satu-satunya tujuan.

Orgasme bukan segalanya, keintiman Anda berdualah yang lebih penting. Pada studinya di tahun 60-an, Masters dan Johnson mengungkapkan respon psikologis perempuan terhadap aktivitas seksual. Menurut mereka, saat “tergugah”, pernafasan, tekanan darah, dan detak jantung seseorang akan meningkat. Aliran darah mengalir ke vagina dan alat vital. Rahim akan mengembang begitu bagian atas vagina terbuka.

Pada saat orgasme, sepertiga bagian luar vagina, rahim dan daerah lain di bagian panggul secara refleks berkontraksi. Para ahli juga mengungkapkan jejak lain. Contohnya, klitoris, organ mungil di bagian depat alat vital ternyata cukup berperan saat perempuan bergairah. Vagina, pada sebagian perempuan juga memiliki daerah sangat sensitif yang disebut G-Spot. Merangsang daerah itu bisa menghasilkan kenikmatan yang besar, bahkan orgasme.

Kalau kebetulan tidak mengalami satupun dari tanda-tanda orgasme itu, berarti Anda tak bisa mencapainya. Rangsangan pada tengkuk, misalnya, juga dapat memberi sensasi menyenangkan bagi sebagian perempuan.

Ada pula perempuan yang dapat mencapai klimaks melalui rangsangan pada bagian tubuh lain. Karena itu, Anda tak perlu khawatir karena ternyata ada banyak kemungkinan. Survei menunjukkan ada perempuan yang bisa mengalami orgasme melalui sentuhan semacam itu, meski jumlahnya tidak banyak. Banyak faktor yang dapat menghambat kemampuan perempuan mencapai orgasme.

Yang pasti, ukuran klitoris, pembukaan vagina, serta bentuk anatomis lainnya tidak berhubungan dengan tingkatan orgasme. Demikian menurut psikologi sosial dari Syracuse University, Clive M Davis. Tapi diketahui, leher rahim biasanya sangat sensitif dan cukup berperan dalam kenikmatan seksual. Sehingga perempuan yang pernah mengalami pengangkatan rahim biasanya kehilangan kepekaan di bagian itu.

Salah satu faktor yang diketahui menghalangi orgasme adalah adanya penyakit atau penggunaan obat-obatan tertentu seperti obat antidepresi, antihipertensi, dan obat perangsang. Begitupun dengan gangguan hormon.

Bila seorang perempuan sehat dan bebas dari kondisi medis tertentu, masalahnya bisa jadi terletak pada faktor psikologis. Kemarahan, kelelahan, stress atau depresi biasanya merupakan gejala psikologis yang bisa menghalangi orgasme. Dan tak kalah penting adalah trauma tertentu seperti perkosaan atau kekerasan seksual, biasanya meninggalkan bekas yang mempersulit orgasme seorang perempuan.

Pandangan sosial dan mitos-mitos dalam masyarakat juga bisa menimbulkan kekhawatiran. Misalnya, ada anggapan bahwa perempuan harus bisa memuaskan pasangannya, sementara mereka sendiri tidak berhak menerimanya. Pesan negatif itu biasanya terus menyertainya dan menimbulkan pertentangan batin ketika perempuan tersebut beranjak dewasa.

Akibatnya, banyak perempuan yang ragu mengatakan pada pasangannya bahwa mereka menikmati rangsangan yang dilakukan pasangan. Karena jika mereka malu tak mengalami orgasme seperti layaknya perempuan lain, khawatir akan melukai perasaan pasangan bila mengatakan hubungan intim kurang memuaskan.

Banyak pula perempuan yang sudah terangsang tapi sulit mengekspresikannya dengan bebas. Biasanya hal seperti itu terjadi karena mereka merasa malu terlihat terlalu “bernafsu” saat mengalami orgasme. Padahal, satu-satunya hal yang harus dilakukan pada saat itu adalah “pasrah”, membiarkan tubuh menikmati yang terjadi, bukannya menolak. (od)



Koyo Hormon Bantu Orgasme.....

Ada kabar gembira untuk kaum perempuan– termasuk perempuan yang sudah memasuki masa menopause– yang selama ini kesulitan mencapai orgasme, dengan ditemukannya koyo hormon. Produk tersebut kini sedang diujicoba secara klinis di lebih 150 lokasi di Amerika dan Kanada. Koyo tipis yang hampir transparan itu berisi hormon testosteron, hormon yang selama ini dikaitkan dengan hasrat seks dan keagresifan lelaki.

Cara pemakaian koyo tersebut ditempelkan di perut. Hasil sementara menunjukkan terjadi peningkatan hasrat seksual di ribuan respondennya. Seperti kita ketahui, jutaan perempuan mengalami penurunan hasrat seksual karena rendahnya tingkat hormon akibat menopause atau histerektomi. Hal itu jelas bisa membuat para perempuan frustasi, tidak berbahagia dan mengalami masalah berhubungan.

“Lebih dari 40 juta perempuan menderita kurangnya hasrat seksual, yang mengakibatkan stres pribadi atau menyakut masalah berhubungan,” kata Sherly Kingsberg, psikolog klinis di RS Wanita MacDonald, Universitas Cleveland, salah satu tempat diadakannya penelitian ini. “Karena pengobatan masih dalam tahap uji coba maka produk ini belum mendapat persetujuan dari Pengawas Obat dan Makanan di AS. Kendati demikian, penelitian klinis ini merupakan langkah penting untuk mengembangkan pilihan terapi guna membantu banyak perempuan dan pasangannya yang menderita gangguan seksual,” kata Kingsberg.

Diperkirakan ada sekitar 43 persen perempuan di dunia yang menderita gangguan seksual, dibandingkan lelaki yang hanya 31 persen. Sebetulnya ini bukan merupakan uji coba pertama yang melibatkan hormon testosteron dengan subyeknya perempuan. Para peneliti di John Hopkins pernah melakukan penelitian serupa dan ujicoba juga sedang dilakukan di Pusat Kesehatan Universitas New York. Penurunan hasrat seksual perempuan biasanya disertai juga dengan masalah lainnya, seperti tidak mampu mencapai orgasme. (od)

by odeng.blogspot.com